Kamis, 23 November 2017

Siapa Sebenarnya Imam Al-Bukhari?


Muhammad bin Hatim Warraq Al-Bukhari rahimahullah menceritakan, “Aku bermimpi melihat Bukhari berjalan di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap kali Nabi mengangkat telapak kakinya maka Abu Abdillah (Bukhari) pun meletakkan telapak kakinya di situ.” (Hadyu Sari, hal. 656)

Di antara hal yang sangat bermanfaat dan bisa memberikan inspirasi bagi jiwa seorang muslim adalah membaca sejarah kehidupan para ulama. Menyelami alur cerita mereka memiliki kesan tersendiri bagi jiwa. Menikmati setiap detik kehidupan mereka yang penuh dengan ilmu dan amal begitu asyik dan indah terasa. Maka itu, luangkanlah waktu untuk hidup bersama mereka walau sesaat, insya Allah akan sangat bermanfaat.


Nama dan Nasabnya


Beliau bernama Muhammad, putra dari Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi, biasa dipanggil dengan sebutan Abu ‘Abdillah. Beliau dilahirkan pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at 13 Syawwal 194 H di Bukhara (Bukarest). Ketika masih kecil, ayahnya yaitu Isma’il sudah meninggal sehingga dia pun diasuh oleh sang ibu. Ghinjar dan Al-Lalika’i menceritakan bahwa ketika kecil kedua mata Bukhari buta. Suatu ketika ibunya bermimpi melihat Nabi Ibrahim berkata kepadanya, “Wahai ibu, sesungguhnya Allah telah memulihkan penglihatan putramu karena banyaknya doa yang kamu panjatkan kepada-Nya.” Pagi harinya dia dapati penglihatan anaknya telah sembuh (lihat Hadyu Sari, hal. 640)


Kelahiran


Beliau dilahirkan di Bukhara, sebuah kota masyhur yang terletak di sebelah tengah Uzbekistan, pada bulan Syawal tahun 194 H. Beliau tumbuh dengan keadaan yatim dalam didikan ibunya. Kepada kota Bukhara inilah penisbatan nama Imam al-Bukhari.


Menuntut Ilmu

Beliau memulai rihlah (perjalanan) untuk menuntut ilmu hadis pada tahun 210 H ketika pergi berhaji bersama Ibu dan saudaranya. Beliau menetap di Makkah untuk menyelami ilmu hadis, setelah itu baru beliau berkeliling ke negara-negara yang lain.

Imam al-Bukhari rahimahullah sering berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain. Beliau pernah bermukim di Hijaz selama dua tahun. Demikian pula beliau pernah bepergian ke Syam, Mesir, Jazirah Arab, al-Bashrah, al-Kufah dan Baghdad serta ke Khurasan.

Kekuatan Hafalan Imam Bukhari dan Kecerdasannya


Muhammad bin Abi Hatim Warraq Al Bukhari menceritakan: Aku mendengar Bukhari mengatakan, “Aku mendapatkan ilham untuk menghafal hadits ketika aku masih berada di sekolah baca tulis (kuttab).” Aku berkata kepadanya, “Berapakah umurmu ketika itu?” Dia menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang dari itu. Kemudian setelah lulus dari Kuttab, aku pun bolak-balik menghadiri majelis haditsnya Ad-Dakhili dan ulama hadits lainnya. Suatu hari tatkala membacakan hadits di hadapan orang-orang dia (Ad-Dakhili) mengatakan, ‘Sufyan meriwayatkan dari Abu Zubair dari Ibrahim.’ Maka aku katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan dari Ibrahim.’ Maka dia pun menghardikku, lalu aku berkata kepadanya, ‘Rujuklah kepada sumber aslinya, jika kamu punya.’ Kemudian dia pun masuk dan melihat kitabnya lantas kembali dan berkata, ‘Bagaimana kamu bisa tahu wahai anak muda?’ Aku menjawab, ‘Dia adalah Az Zubair (bukan Abu Zubair, pen). Nama aslinya Ibnu Adi yang meriwayatkan hadits dari Ibrahim.’ Kemudian dia pun mengambil pena dan membenarkan catatannya. Dan dia pun berkata kepadaku, ‘Kamu benar’. Menanggapi cerita tersebut, Bukhari ini Warraq berkata, “Biasa, itulah sifat manusia. Ketika membantahnya umurmu berapa?” Bukhari menjawab, “Sebelas tahun.” (Hadyu Sari, hal. 640)

Hasyid bin Isma’il menceritakan: Dahulu Bukhari biasa ikut bersama kami bolak-balik menghadiri pelajaran para masayikh (para ulama) di Bashrah, pada saat itu dia masih kecil. Dia tidak pernah mencatat, sampai-sampai berlalu beberapa hari lamanya. Setelah 6 hari berlalu kami pun mencela kelakuannya. Menanggapi hal itu dia mengatakan, “Kalian merasa memiliki lebih banyak hadits daripada aku. Cobalah kalian tunjukkan kepadaku hadits-hadits yang telah kalian tulis.” Maka kami pun mengeluarkan catatan-catatan hadits tersebut. Lalu ternyata dia menambahkan hadits yang lain lagi sebanyak lima belas ribu hadits. Dia membacakan hadits-hadits itu semua dengan ingatan (di luar kepala), sampai-sampai kami pun akhirnya harus membetulkan catatan-catatan kami yang salah dengan berpedoman kepada hafalannya (Hadyu Sari, hal. 641)

Muhammad bin Al Azhar As Sijistani rahimahullah menceritakan: Dahulu aku ikut hadir dalam majelis Sulaiman bin Harb sedangkan Bukhari juga ikut bersama kami. Dia hanya mendengarkan dan tidak mencatat. Ada orang yang bertanya kepada sebagian orang yang hadir ketika itu, “Mengapa dia tidak mencatat?” Maka orang itu pun menjawab, “Dia akan kembali ke Bukhara dan menulisnya berdasarkan hafalannya.” (Hadyu Sari, hal. 641)

Suatu ketika Bukhari rahimahullah datang ke Baghdad. Para ulama hadits yang ada di sana mendengar kedatangannya dan ingin menguji kekuatan hafalannya. Mereka pun mempersiapkan seratus buah hadits yang telah dibolak-balikkan isi hadits dan sanadnya, matan yang satu ditukar dengan matan yang lain, sanad yang satu ditukar dengan sanad yang lain. Kemudian seratus hadits ini dibagi kepada 10 orang yang masing-masing bertugas menanyakan 10 hadits yang berbeda kepada Bukhari. Setiap kali salah seorang di antara mereka menanyakan kepadanya tentang hadits yang mereka bawakan, maka Bukhari menjawab dengan jawaban yang sama, “Aku tidak mengetahuinya.” Setelah sepuluh orang ini selesai, maka gantian Bukhari yang berkata kepada 10 orang tersebut satu persatu, “Adapun hadits yang kamu bawakan bunyinya demikian. Namun hadits yang benar adalah demikian.” Hal itu beliau lakukan kepada sepuluh orang tersebut. Semua sanad dan matan hadits beliau kembalikan kepada tempatnya masing-masing dan beliau mampu mengulangi hadits yang telah dibolak-balikkan itu hanya dengan sekali dengar. Sehingga para ulama pun mengakui kehebatan hafalan Bukhari dan tingginya kedudukan beliau (lihat Hadyu Sari, hal. 652)

Muhammad bin Hamdawaih rahimahullah menceritakan: Aku pernah mendengar Bukhari mengatakan, “Aku hafal seratus ribu hadits sahih.” (Hadyu Sari, hal. 654). Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku menyusun kitab Al-Jami’ (Shahih Bukhari, pent) ini dari enam ratus ribu hadits yang telah aku dapatkan dalam waktu enam belas tahun dan aku akan menjadikannya sebagai hujjah antara diriku dengan Allah.” (Hadyu Sari, hal. 656)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menuturkan bahwa apabila Bukhari membaca Al-Qur’an maka hati, pandangan, dan pendengarannya sibuk menikmati bacaannya, dia memikirkan perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di dalamnya, dan mengetahui hukum halal dan haramnya (lihat Hadyu Sari, hal. 650)

Karya-Karya


Imam al-Bukhari memiliki banyak karya tulisan, di antaranya adalah Shahih al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, Khalq Af’al al-‘Ibad, Juz’ Raf’ al-Yadain fi ad-Du’a, Juz’ al-Qiraah kalfa al-Imam, Tarikh al-Bukhari, dan beberapa kitab lainnya.

Wafat


Imam al-Bukhari rahimahullah wafat di daerah Khartank, sebuah negeri yang terletak dekat dari Samarkand pada malam Idul Fitri tahun 256 H pada usia 62 tahun kurang tiga belas hari.

Muhammad al-Jurjani rahimahullah berkata: Aku mendengar Abdulwahid bin Adam at-Tawawisi berkata: aku bermimpi melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sekumpulan sahabat beliau. Nabi berdiri di sebuah tempat, lalu aku mengucapkan salam dan beliau pun menjawab salamku. Aku bertanya: mengapa engkau berdiri, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Aku menunggu Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Beberapa hari setelah itu sampai kepadaku kabar tentang kematian al-Bukhari, setelah aku perhatikan ternyata beliau meninggal pada waktu aku bermimpi bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau telah meninggalkan ilmu yang melimpah pada karya-karyanya. Semoga Allah merahmati beliau dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.

Sanjungan Para Ulama Kepadanya


Abu Mush’ab rahimahullah (di dalam cetakan tertulis Abu Mu’shab, sepertinya ini salah tulis karena dalam kalimat sesudahya ditulis Abu Mush’ab, pent) Ahmad bin Abi Bakr Az Zuhri mengatakan, “Muhammad bin Isma’il (Bukhari) lebih fakih dan lebih mengerti hadits dalam pandangan kami daripada Imam Ahmad bin Hambal.” Salah seorang teman duduknya berkata kepadanya, “Kamu terlalu berlebihan.” Kemudian Abu Mush’ab justru mengatakan, “Seandainya aku bertemu dengan Malik (lebih senior daripada Imam Ahmad, pent) dan aku pandang wajahnya dengan wajah Muhammad bin Isma’il niscaya aku akan mengatakan: Kedua orang ini sama dalam hal hadits dan fiqih.” (Hadyu Sari, hal. 646)

Qutaibah bin Sa’id rahimahullah mengatakan, “Aku telah duduk bersama para ahli fikih, ahli zuhud, dan ahli ibadah. Aku belum pernah melihat semenjak aku bisa berpikir ada seorang manusia yang seperti Muhammad bin Isma’il. Dia di masanya seperti halnya Umar di kalangan para sahabat.” (Hadyu Sari, hal. 646)

Muhammad bin Yusuf Al Hamdani rahimahullah menceritakan: Suatu saat Qutaibah ditanya tentang kasus “perceraian dalam keadaan mabuk”, lalu masuklah Muhammad bin Isma’il ke ruangan tersebut. Seketika itu pula Qutaibah mengatakan kepada si penanya, “Inilah Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan Ali bin Madini yang telah dihadirkan oleh Allah untuk menjawab pertanyaanmu.” Seraya mengisyaratkan kepada Bukhari (Hadyu Sari, hal. 646)

Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan, “Negeri Khurasan belum pernah melahirkan orang yang seperti Muhammad bin Isma’il.” (Hadyu Sari, hal. 647)

Bundar Muhammad bin Basyar rahimahullah mengatakan tentang Bukhari, “Dia adalah makhluk Allah yang paling fakih di zaman kami.” (Hadyu Sari, hal. 647)

Hasyid bin Isma’il rahimahullah menceritakan: Ketika aku berada di Bashrah aku mendengar kedatangan Muhammad bin Isma’il. Ketika dia datang, Muhammad bin Basyar pun mengatakan, “Hari ini telah datang seorang pemimpin para fuqoha’.” (Hadyu Sari, hal. 647)

Muslim bin Hajjaj rahimahullah -penulis Shahih Muslim, murid Imam Bukhari – mengatakan, “Aku bersaksi bahwa di dunia ini tidak ada orang yang seperti dirimu (yaitu seperti Bukhari).” (Hadyu Sari, hal. 650)

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas jasa-jasa beliau dengan sebaik-baik balasan dan memasukkannya ke dalam Surga Firdaus yang tinggi. Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang dapat melanjutkan perjuangannya dalam membela Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebarkannya kepada umat manusia. 

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

***
[Referensi: Hadyus-Sari muqaddimah Fathul-Bari, Ibnu Hajar al-‘Asqalani Syaikh, Cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, hal. 6-8. Al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits, Ahmad Syakir, hal. 36, Jam’iyyah Ihya’ at-Turots, Kuwait. Nuzhah al-Fuhdola’ Tahdzib Siyar A’lam an-Nubala’, Muhammad Hasan ‘Aqil Musa, hal. 923-924, Dar al-Andalus, Jedah. Mushthalah al-Hadits, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 90-92, Cet. Jami’ah al-Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyyah]



EmoticonEmoticon