Senin, 18 Desember 2017

Hukum dan Batasan Beladiri Dalam Islam



Assalamualaikum,

Saya salah satu praktisi beladiri. tahapan saya saat ini adalah seorang murid. jenis beladiri yang saya geluti saat ini adalah beladiri asal China, disebut w**g C**n.
yang ingin saya tanyakan adalah :
1. Syarat beladiri yang tidak menyalahi aturan Islam adalah yang seperti apa?
2. Ada banyak beladiri yang mengutamakan olah nafas dalam praktikum mereka. mohon kiranya penjelasan tentang olah nafas dalam pandangan Islam dan olah nafas seperti apa yang tidak berselisih dengan hukum Islam.
3. Dalam sistem pemerintahan Islam ( khilafah) Seorang instruktur beladiri apakah memiliki kemuliaan yang sama dengan guru2 ilmu pengetahuan lainnya?
Dari Rosy Fareza Syakhrani 
Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Pada dasarnya bela diri hukumnya mubah. Bahkan jika latihan ini dilakukan dalam rangka menyiapkan diri untuk ber jihad, termasuk i’dad (mempersiapkan) yang Allah perintahkan.
Allah berfirman,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
Persiapkanlah untuk menghadapi mereka, segala kekuatan yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu (QS. al-Anfal: 60)
Dan semua amal tergantung dari niatnya. Ketika latihan bela diri dilakukan dalam rangka menyiapkan diri untuk berjihad membela kebenaran, insyaaAllah bernilai pahala. Namun jika sebatas hobi dan yang penting happy, jelas tidak ada sisi pahalanya. Dan yang lebih penting, jangan sampai latihan bela diri ini mengantarkan anda kepada kemaksiatan.
Untuk itu, kita akan menyimak beberapa batasan syariat, agar latihan bela diri tidak menjadi sumber dosa.
Pertama, bela diri hanya olah raga dan permainan. Untuk itu, sikapi latihan ini layaknya olah raga dan bukan aliran kepercayaan. Sehingga tidak boleh dijadikan standar al-wala wal bara’ (loyal dan benci).
Jangan sampai anda memusuhi muslim yang lain, hanya karena beda perguruan bela diri.  Sebaliknya, anda juga tidak boleh loyal dengan orang kafir dan orang musyrik, hanya karena dia teman seperguruan dalam latihan bela diri.
Realita pahit yang bisa kita saksikan di masyarakat, perguruan dan padepokan bela diri, telah dijadikan standar loyalitas. Kita tidak tahu, sampai kapan perguruan Kera Sakti akan akur dengan perguruan Setia Hati Terate. Kita juga tidak tahu, sampai kapan taekwondo akan menghentikan perang dingin dengan karateka.
Masing-masing punya gengsi tersendiri. Dan masing-masing sangat membanggakan perguruannya. Bisa jadi, ini muncul karena dituggangi doktrin ideologi dari perguruannya.
Namun apapun itu, islam melarang membangun loyalitas karena latar belakang suku, keelompok, apalagi hanya sebatas perguruan bela diri. Karena ini loyalitas model jahiliyah. Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah manyampaikan khutbah,
أَلا وَإِنَّ كُلَّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمِيَّ
Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang menjadi tradisi jahiliyah, ditaruh di bawah kakiku. (HR. Muslim 3009, Abu Daud 1907 dan yang lainnya).
Karena itulah, orang yang mati karena latar belakang kesukuan atau loyalitas kelompok, digolongkan sebagaimana mati gaya jahiliyah.
Dari Jundub bin Abdillah al-Bajali Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَدْعُو عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
Siapa yang terbunuh karena latar belakang yang tidak jelas, menghidupkan semangat kesukuan atau membela kelompok, maka dia mati dalam kondisi jahiliyah. (HR. Muslim 1850).
Loyalitas yang diajarkan islam adalah loyalitas yang dibangun di atas iman dan islam. Allah berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu. (QS. al-Hujurat: 10)
Kedua, hindari semua yang berbau klenik dan kesyirikan
Salah satu sarang menyusupnya klenik dan kesyirikan adalah kegiatan bela diri. Terutama yang banyak mengandalkan olah pernapasan. Terlebih, umumnya peserta bela diri, mereka memiliki latar belakang ingin memiliki kekuatan dan kesaktian.
Mungkin yang menjadi pertannyaan adalah bagaimana cara mengenali latihan itu termasuk kesyirikan?
Secara umum, ulama memberikan kaidah: “mengambil sebab yang bukan sebab, itu kesyirikan”. Ketika anda ingin mendapatkan sesuatu, namun cara untuk mewujudkannya sangat tidak logis, itu masuk dalam kaidah di atas.
Terkait masalah bela diri, ada beberapa indikator untuk mengenali bahwa itu kesyirikan, atau setidaknya anda hindari,
  1. Menggunakan jimat. Jika guru anda menjanjikan, siapa yang sudah mencapai derajat tertentu akan mendapatkan ‘tameng pelindung’ atau ‘tabir ghaib’, baik berupa cincin, sabuk, gelang, kalung atau apapun bendanya, anda harus segera menghindarinya. Terutama, jika cara untuk mendapatkan itu, harus melalui ritual ibadah tertentu, seperti puasa, wirid, semedi di kuburan, hingga shalat tahajud malam jumat. Semua itu adalah sarana untuk mendatangkan jin yang akan membantunya.
  2. Perguruan silat yang menawarkan ilmu kanuragan. Apapun cara yang digunakan, hakekat ilmu kanuragan adalah sihir. Meskipun dibungkus dengan kedok wirid, dzikir, amalan, suluk dan yang lainnya. Karena amalan ibadah bisa saja dikerjakan dalam rangka pemujaan terhadap jin dan setan.
  3. Latihan pernapasan namun diiringi dengan dzikir atau wirid tertentu. Dengan tujuan untuk meringankan tubuh atau pukulan jarak jauh atau kepretan pingsan. Semua ini kebohongan, karena jelas di luar kemampuan manusia. Dia bisa melakukan itu karena bantuan jin. Medianya adalah wirid ketika proses pernapasan.
  4. Membangun telapati antara guru dan murid. Bisa dengan memanggil nama guru atau mengingat wajah guru. Dengan itu, akan terhubung jalinan batin yang dianggap sumber kekuatan bagi si murid. Anda bisa memastikan, ini kedustaan. Karena tidak mungkin, hanya sebatas membayangkan guru, dia bisa memiliki tambahan kekuatan.
Karena itu, prinsip penting yang anda kedepankan: sikapi bela diri sebagaimana olah raga, murni latihan fisik, sehingga jauhkan semua bentuk ibadah, suluk dan amalan, ideologi, dst.
Ketiga, hindari bentuk salam yang terlarang, misalnya dengan membungkuk layaknya orang rukuk. Baik kepada guru maupun sesama lawan tanding.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
قال رجل: يا رسول الله أحدنا يلقى صديقه أينحني له؟ قال: فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا
Ada orang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Ya Rasulullah, jika kami ketemu teman, apakah boleh membungkuk?’
Jawab beliau, ‘Tidak boleh.’
قال: فيصافحه؟ قال: نعم إن شاء
Dia bertanya lagi, ‘Bolehkah dia menyalaminya?’
Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya, dia salami, jika dia mau.”
(HR. Turmudzi 2728, Ibn Majah 3702, dan dishahihkan al-Albani).
Syaikhul Islam mengatakan,
وأما الإنحناء عند التحية: فينهى عنه، كما في الترمذي عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنهم سألوه عن الرجل يلقى أخاه ينحني له؟ قال : لا) ولأن الركوع والسجود لا يجوز فعله إلا لله عزوجل
Membungkuk ketika memberi salam hukumnya terlarang. Sebagaimana diriwayatkan Turmudzi dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa para sahabat bertanya, jika ada orang yang ketemu temannya, bolehkah dia membungkuk? Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tidak boleh.’ Karena rukuk dan sujud tidak boleh dilakukan kecuali untuk Allah. (Majmu’ Fatawa, 1/377)
Keempat, hindari memukul wajah
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,
إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ
Jika kalian hendak memukul seseorang, hindari wajah. (HR. Bukhari 2420)
Kelima, jaga hati, jangan sampai kemampuan bela diri menjadi sebab anda bersikap sombong. Bisa jadi, setan memanfaatkan kondisi anda untuk dijadikan kesempatan menggoda anda untuk berbuat dzalim.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَكُونُوا عَوْناً لِلشَّيْطَانِ عَلَى أَخِيكُمْ
Janganlah kalian menjadi penolong bagi setan untuk mendzalimi saudara kalian. (HR. Ahmad 4252 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Karena itu, pandai-pandailah jaga emosi. Di saat anda punya kelebihan bela diri, anda harus lebih pandai bersabar.
Semoga Allah selalu memberikan bimbingan hidayah dan taufiq bagi kita semua.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Read More

Pahamilah Kaidah, Nasihat Untuk Ustadz Adi Hidayat MA Tentang Maulid Nabi



Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab iqtidlo shirotil mustaqiim (2/615) ketika membahas tentang perayaan maulid Nabi berkata:

فإن هذا لم يفعله السلف، مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه. ولو كان هذا خيراً محضًا، أو راجحاً لكان السلف - رضي الله عنهم أحق به منا، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله - صلى الله عليه وسلم - وتعظيماًله منا، وهم على الخير أحرص.
"Sesungguhnya ini tidak pernah dilakukan oleh salaf padahal pendorong (untuk merayakan) telah ada, dan penghalangnya tidak ada. Kalaulah ini kebaikan yang murni atau lebih banyak kebaikannya tentulah salaf yang lebih berhak (mendahuluinya) dari kita. 
Karena mereka lebih mencintai Nabi dan lebih mengagungkan beliau dari kita. Dan mereka lebih semangat kepada kebaikan".

Perhatikanlah ucapan syaikhul Islam ini. Beliau memberikan kaidah kaidah yang agung dalam memahami perbuatan yang tidak dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya atau disebut dengan salaf.

Beberapa faidah yang bisa dipetik dari perkataan beliau:

PERTAMA:
Sesuatu yang tidak diperbuat oleh salafushalih padahal pendorongnya ada di zaman itu, dan penghalangnya pun tidak ada. Maka perbuatan tersebut tidak boleh kita lakukan karena mereka meninggalkannya pasti karena itu tidak disyariatkan. 

Contoh yang sedang dibahas oleh beliau adalah perayaan maulid. Perayaan tersebut tidak pernah dilakukan oleh para shahabat, tabi'in, tabi'iuttabiin dan tidak juga imam madzhab yang empat. Padahal pendorong untuk merayakannya ada yaitu cinta kepada Nabi. Dan penghalangnya juga tidak ada, dimana mereka mampu melakukannya tapi tidak melakukannya.

KEDUA:
Dapat dipahami dari perkataan beliau, bahwa jika Nabi dan para shahabat meninggalkan suatu perbuatan karena pendorongnya belum ada di zaman tersebut, maka jika pendorongnya muncul setelah zaman mereka dan mashalahatnya lebih besar maka perbuatan tersebut boleh dilakukan dan tidak dianggap bid'ah.

Contohnya adalah ilmu nahwu, ilmu shorof, ilmu hadits, ilmu ushul fiqih dan sebagainya tidak ada di zaman Nabi dan para shahabat karena pendorongnya belum muncul. Tapi ketika telah muncul di zaman belakangan yaitu banyak orang yang tidak faham bahasa arab, muncul perawi yang suka salah dan berdusta, maka ditulislah ilmu ilmu tersebut untuk membela alqur'an dan hadits.

KETIGA:
Demikian juga jika Nabi dan para shahabatnya tidak melakukan suatu perbuatan karena adanya penghalang di zaman itu. Maka ketika penghilang itu telah hilang dan mashalahatnya lebih besar maka boleh dilakukan dan tidak dianggap sebagai bid'ah.

Contohnya adalah pembukuan mushaf alqur'an. Di zaman Nabi belum dibukukan karena masih ada penghalang yaitu wahyu yang terus turun. Setelah Nabi wafat banyak penghafal alqur'an yang meninggal di medan perang sehingga dikhawatirkan alqur'an akan hilang. Maka dibukukanlah di zaman Abu Bakar radliyallahu 'anhu.

KEEMPAT:
Salafussalih adalah generasi yang paling utama. Mereka lebih mengetahui kebaikan, lebih faham tentang agama, lebih mencintai nabi dari kita, dan lebih semangat kepada pelbagai kebaikan. Maka sepantasnya untuk kita merujuk mereka dalam memahami alquran dan hadits.

Dari kaidah kaidah ini tampaklah kesalahan ustadz yang mengqiyaskan maulid dengan pembukuan alqur'an atau menyamakan dengan beras. Semoga Allah membimbing kita semua kepada taufiqNya. Aamiin

Ustadz Badru Salam, Lc -hafizhahullah- Tsulasa 16 Rabi'ul Awwal 1439 H / 5 Desember 2017
Read More

Jumat, 24 November 2017

Mengapa Maulid Nabi Tidak Boleh Dirayakan?

Syaikh Shalih Al Ushaimi

(Anggota perhimpunan ulama senior kerajaan Saudi Arabia, dan pengajar di masjidil Haram dan masjid Nabawi)

Merayakan maulid Nabi hukumnya tidak boleh karena tiga dalil berikut :


Pertama, amalan ini termasuk perkara baru dalam agama, yang tidak ditemui di masa sahabat radhiyallahu’anhum, tidak juga masa setelah mereka (tabi’in), dan generasi berikutnya (tabi’ut tabi’in). Tiga masa keemasan berlalu dan tidak ditemui perayaan maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apabila diketahui perkara ini adalah perkara yang baru dalam agama, ini menunjukkan bahwa hal ini adalah bid’ah. Sementara setiap bid’ah itu menyimpang dari kebenaran, sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Kedua, para ulama sendiri berbeda pendapat terkait penetapan hari kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam :
  • Ada yang mengatakan 8 Rabiul awwal
  • 10 Rabiul awwal
  • 12 Rabiul awwal
  • 18 Rabiul awwal
Diantara mereka ada yang berpandangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak dilahirkan di bulan Rabiul awwal, akan tetapi bulan Rajab.

Perbedaan pendapat mereka dalam menentukan tanggal kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam, menunjukkan tidak benarnya memilih tanggal 12 Rabiul awwal sebagai hari perayaan kelahiran beliau. Karena para ulama tidak sepakat kalau beliau lahir pada hari tersebut.

Pengarang kitab Irbil berusaha mencari solusi permasalahan ini, dengan merayakan maulid pada tanggal 8 Rabiul awwal, kemudian tahun berikutnya merayakan pada 12 Rabiul awwal. Hanya saja pendapat ulama dalam penentuan hari kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam lebih dari dua opsi tersebut. Seharusnya ia merayakan maulid sebanyak pendapat ulama yang ada. Itupun Nabi lahir hanya pada satu hari, bisa jadi tanggal 8, 10 atau 12, sebagaimana pendapat para ulama terkait hari kelahiran Nabi.

Ketiga, ulama sepakat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam wafat pada 12 Rabiul awwal. Anggap saja hari itu benar hari perayaan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Namun tentu saja bersedih pada hari tersebut lebih layak daripada merayakan dengan kegembiraan. Karena dalam penentuan hari kelahiran nabi shallallahu alaihi wa sallam yang mereka rayakan terdapat beberapa pendapat. Adapun hari wafat nabi shallallahu alaihi wa sallam dapat dipastikan terjadi pada tanggal 12 Rabiul awwal.

Anggaplah 12 Rabiul awwal adalah hari kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tentu mereka yang merayakan pantasnya membagi perayaannya ; perayaan gembira dan perayaan kesedihan. Bergembira di awal hari 12 Rabiul awwal karena kelahiran Nabi, kemudian bersedih di akhir hari atas wafatnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yang juga terjadi pada tanggal 12 Rabiul awwal. Namun tetap saja semua ini adalah perkara baru dalam agama. Tidak menutup kemungkinan pada hari tersebut ada orang yang merayakan kesedihan dan merayakan kegembiraan. Karena suatu bid’ah akan melahirkan bid’ah yang lain. Dan bid’ah itu awalnya kecil, lalu menjadi besar, sebagaimana diterangkan al Barbahari dalam kitab Syarhussunnah.

***

(Disampaikan saat mensyarah kitab “Risalah fi Hukmi al Maulid” karya Asy-Syaukani rahimahullah)

Sumber : https://goo.gl/hvxhWK

Penerjemah : Ahmad Anshori (Mahasiswa Universitas Islam Madinah)


Maulud Nabi dalam Tinjauan Sejarah


Tanggal 12 Rabi’ul Awal telah menjadi salah satu hari istimewa bagi sebagian kaum muslimin. Hari ini dianggap sebagai hari kelahiran Nabi akhir zaman, sang pembawa risalah penyempurna, Nabi agung Muhammad shallallahu alaihi wa ‘alaa alihi wa sahbihi wa sallam. Perayaan dengan berbagai acara dari mulai pengajian dan dzikir jamaah sampai permainan dan perlombaan digelar untuk memeriahkan peringatan hari yang dianggap istimewa ini. Bahkan ada di antara kelompok thariqot yang memperingati maulid dengan dzikir dan syair-syair yang isinya pujian-pujian berlebihan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Yang paling ekstrim, diantara mereka ada yang meyakini bahwa ruh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang mulia akan datang di puncak acara maulid. Pada saat puncak acara itulah, sang pemimpin thariqot tersebut memberikan komando kepada peserta dzikir untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan ruh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang hanya diketahui oleh pemimpin thariqot.

Itulah salah satu sisi kelam adanya peringatan maulid, yang sejatinya bukan ajaran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. selanjutnya, kita berpindah tinjauan sejarah untuk maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.


Kapankah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam Dilahirkan?


Pada hakikatnya para ahli sejarah berselisih pendapat dalam menentukan sejarah kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, terutama yang terkait dengan bulan, tanggal, hari, dan tempat di mana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dilahirkan.

Pertama: Bulan kelahiran

Pendapat yang paling masyhur, beliau dilahirkan di bulan Rabi’ul Awal. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Bahkan dikatakan oleh Ibnul Jauzi sebagai kesepakatan ulama. Klaim ijma’ ini tidak benar. Karena banyak pendapat lain yang menegaskan di luar Rabi’ul Awal.

Diantara pendapat lainnya, beliau dilahirkan di bulan Safar, Rabi’ul Akhir, dan bahkan ada yang berpendapat beliau dilahirkan di bulan Muharram tanggal 10 (hari Asyura). Kemudian sebagian yang lain berpendapat bahwa beliau lahir di bulan Ramadlan. Karena bulan Ramadlan adalah bulan di mana beliau mendapatkan wahyu pertama kali dan diangkat sebagai nabi. Pendapat ini bertujuan untuk menggenapkan hitungan 40 tahun usia beliau shallallahu ‘alahi wa sallam ketika beliau diangkat sebagai nabi. Sebagaimana keterangan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليس بالطويل البائن ولا بالقصير … بعثه الله تعالى على رأس أربعين سنة فأقام بمكة عشر سنين

“Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak terlalu tingi dan tidak pendek….. Allah mengutusnya di awal usia 40 tahun. Kemudian tinggal di Mekah selama 10 tahun.” (HR. Bukhari & Muslim).


Kedua: Tanggal kelahiran

Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari senin. Kemudian beliau menjawab: “Hari senin adalah hari dimana aku dilahirkan dan peryama kali aku mendapat wahyu.” Akan tetapi para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal berapa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dilahirkan. Di antara pendapat yang disampaikan adalah: Hari senin Rabi’ul Awal (tanpa ditentukan tanggalnya), tanggal 2 Rabi’ul Awal, tanggal 8, 10, 12, 17 Rabiul Awal, dan 8 hari sebelum habisnya bulan Rabi’ul Awal.

Pendapat yang lebih kuat

Berdasarkan penelitian ulama ahli sejarah Muhammad Sulaiman Al-Mansurfury dan ahli astronomi Mahmud Basya, disimpulkan bahwa hari senin pagi yang bertepatan dengan permulaan tahun dari peristiwa penyerangan pasukan gajah dan 40 tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan atau bertepatan dengan 20 atau 22 april tahun 571, hari senin tersebut bertepatan dengan tanggal 9 Rabi’ul Awal. (ar-Rahiqum al-Makhtum, al-Mubarakfuri).

Tanggal Wafatnya Beliau


Para ulama ahli sejarah menyatakan bahwa beliau meninggal pada hari senin tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H dalam usia 63 tahun lebih empat hari. (ar-Rahiqum al-Makhtum, al-Mubarakfuri).

Satu catatan penting yang perlu kita perhatikan dari dua kenyataan sejarah di atas. Antara penentuan tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan tanggal wafatnya beliau shallallahu ‘alahi wa sallam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa para ulama tidak banyak memberikan perhatian terhadap tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Karena penentuan kapan beliau dilahirkan sama sekali tidak terkait dengan hukum syari’at.

Beliau dilahirkan tidak langsung menjadi nabi, dan belum ada wahyu yang turun di saat beliau dilahirkan. Beliau baru diutus sebagai seorang nabi di usia 40 tahun lebih 6 bulan. Hal ini berbeda dengan hari wafatnya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, seolah para ulama sepakat bahwa hari wafatnya beliau adalah tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H. Hal ini karena wafatnya beliau berhubungan dengan hukum syari’at. Wafatnya beliau merupakan batas berakhirnya wahyu Allah yang turun. Sehingga tidak ada lagi hukum baru yang muncul setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alahi wa sallam.

Sehingga ada satu pertanyaan yang layak kita renungkan, tanggal 12 Rabi’ul Awal itu lebih dekat sebagai tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam ataukah tanggal wafatnya Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam?? Melihat pendekatan ahli sejarah di atas, tanggal 12 Rabi’ul Awal lebih dekat dengan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Dalam masalah tanggal kelahiran, para ulama ahli sejarah berselisih pendapat, sementara dalam masalah wafatnya penulis ar-Rahiqum al-Makhutm tidak menyebutkan adanya perselisihan.

Memahami hal ini, setidaknya kita bisa renungkan, tanggal 12 Rabi’ul Awal yang diperingati sebagai hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pada hakikatnya lebih dekat pada peringatan hari wafatnya Nabi yang mulia Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam dibanding peringatan hari kelahiran beliau.

Dengan membaca ini, barangkali anda akan teringat dengan sikap kaum nasrani terhadap nabi Isa ‘alahis salam. Mereka menetapkan tanggal 25 Desember sebagai peringatan kelahiran Isa. Mereka beranggapan bahwa itu adalah tanggal kelahiran Yesus. Padahal sejarah membuktikan bahwa Yesus tidak mungkin dilahirkan di bulan Desember. Karena mereka sendiri-pun pada hakikatnya tidak memiliki bukti yang nyata tentang natalan (peringatan kelahiran nabi Isa). Tidak dari sejarah, tidak pula dari kitabnya.

Sejarah Munculnya Peringatan Maulid


Disebutkan para ahli sejarah bahwa kelompok yang pertama kali mengadakan maulid adalah kelompok Bathiniyah, yang mereka menamakan dirinya sebagai bani Fatimiyah dan mengaku sebagai keturunan Ahli Bait (keturunan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam). Disebutkan bahwa kelompok batiniyah memiliki 6 peringatan maulid, yaitu maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, maulid Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, maulid Fatimah, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid penguasa mereka. Daulah Bathiniyah ini baru berkuasa pada awal abad ke-4 H. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam baru muncul di zaman belakangan, setelah berakhirnya massa tiga abad yang paling utama dalam umat ini (al quruun al mufadholah). Artinya peringatan maulid ini belum pernah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabat, tabi’in dan para Tabi’ tabi’in. Al Hafid As Sakhawi mengatakan: “Peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam belum pernah dinukil dari seorangpun ulama generasi terdahulu yang termasuk dalam tiga generasi utama dalam Islam. Namun peringatan ini terjadi setelah masa itu.”

Pada hakikatnya, tujuan utama daulah ini mengadakan peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah dalam rangka menyebarkan aqidah dan kesesatan mereka. Mereka mengambil simpati kaum muslimin dengan kedok cinta ahli bait Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. (Dhahiratul Ihtifal bil Maulid an-Nabawikarya Abdul Karim al-Hamdan)
Siapakah Bani Fatimiyah

Bani Fatimiyah adalah sekelompok orang Syi’ah pengikut Ubaid bin Maimun al-Qoddah. Mereka menyebut dirinya sebagai bani Fatimiyah karena menganggap bahwa pemimpin mereka adalah keturunan Fatimah putri Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Meskipun aslinya ini adalah pengakuan dusta. Nama yang lebih layak untuk mereka adalah Bani Ubaidiyah bukan Bani Fatimiyah. Kelompok ini memiliki paham Syi’ah yang menentang ahlu sunnah, dari sejak didirikan sampai masa keruntuhannya. Berkuasa di benua Afrika bagian utara selama kurang lebih dua abad. Dimulai sejak keberhasilan mereka dalam meruntuhkan daulah Bani Rustum tahun 297 H dan diakhiri dengan keruntuhan mereka di tangan daulah Salahudin al-Ayyubi pada tahun 564 H. (ad-Daulah al-Fathimiyah karya Ali Muhammad ash-Shalabi).

Daulah Fatimiyah ini memiliki hubungan erat dengan kelompok Syi’ah al-Qaramithah Bathiniyah. Perlu diketahui bahwa Kelompok al-Qaramithah Bathiniyah ini memiliki keyakinan yang sangat menyimpang dari ajaran Islam. Diantaranya mereka hendak menghilangkan syariat haji dalam agama Islam. Oleh karena itu, pada musim haji tahun 317 H kelompok ini melakukan kekacauan di tanah haram dengan membantai para jamaah haji, merobek-robek kain penutup pintu ka’bah, dan merampas hajar aswad serta menyimpannya di daerahnya selama 22 tahun. (al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibn Katsir, 11:252).
Siapakah Abu Ubaid al-Qoddah

Nama aslinya Ubaidillah bin Maimun, kunyahnya Abu Muhammad. Digelari dengan al-Qoddah yang artinya mencolok, karena orang ini suka memakai celak sehingga matanya kelihatan mencolok. Pada asalnya dia adalah orang yahudi yang membenci Islam dan hendak menghancurkan kaum muslimin dari dalam. Dia menanamkan aqidah batiniyah. Dimana setiap ayat Alquran itu memiliki makna batin yang hanya diketahui oleh orang-orang khusus diantara kelompok mereka. Maka dia merusak ajaran Islam dengan alasan adanya wahyu batin yang dia terima dan tidak diketahui oleh orang lain. (al-Ghazwu al-Fikr dan ad-Daulah al-Fathimiyah karya Ali Muhammad ash-Shalabi).

Dia adalah pendiri dan sekaligus orang yang pertama kali memimpin bani Fatimiyah. Pengikutnya menggelarinya dengan al-Mahdi al-Muntadhor (al-Mahdi yang dinantikan kedatangannya). Berasal dari Iraq dan dilahirkan di daerah Kufah pada tahun 206 H. Dirinya mengaku sebagai keturunan salah satu ahli bait Ismail bin Ja’far ash-Shadiq melalui pernikahan rohani (nikah non fisik). Namun kaum muslimin di daerah Maghrib mengingkari pengakuan nasabnya. Yang benar dia adalah keturunan Said bin Ahmad al-Qoddah. Dan terkadang orang ini mengaku sebagai pelayan Muhammad bin Ja’far ash-Shodiq. Semua ini dia lakukan dalam rangka menarik perhatian manusia dan mencari simpati umat. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak diantara orang-orang bodoh daerah afrika yang membenarkan dirinya dan menjadikannya sebagai pemimpin. (al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibn Katsir & ad-Daulah al-Fathimiyah karya Ali Muhammad ash-Shalabi).
Sikap Para Ulama Terhadap Bani Ubaidiyah (Fatimiyah)

Para ulama ahlus sunnah telah menegaskan status kafirnya bani ini. Karena aqidah mereka yang menyimpang. Para ulama menegaskan tidak boleh bermakmum di belakang mereka, tidak boleh menshalati jenazah mereka, tidak boleh adanya hubungan saling mewarisi di antara mereka, tidak boleh menikah dengan mereka, dan sikap-sikap lainnya sebagaimana yang selayaknya diberikan kepada orang kafir. Diantara ulama Ahlus Sunnah yang sezaman dengan mereka dan secara tegas menyatakan kekafiran mereka adalah Syaikh Abu Ishaq as-Siba’i. Bahkan beliau mengajak untuk memerangi mereka. Syaikh Al Faqih Abu Bakr bin Abdur Rahman al-Khoulani menceritakan:

“Syaikh Abu Ishaq bersama para ulama lainnya pernah ikut memerangi bani Aduwillah (Bani Ubaidiyah) bersama bersama Abu Yazid. Beliau memberikan ceramah di hadapan tentara Abu Yazid: ‘Mereka mengaku ahli kiblat padahal bukan ahli kiblat, maka kita wajib bersama pasukan ini yang merupakan ahli kiblat untuk memerangi orang yang bukan ahli kiblat (yaitu Bani Ubaidiyah)…’”

Diantara ulama yang ikut berperang melawan Bani Ubaidiyah adalah Abul Arab bin Tamim, Abu Abdil Malik Marwan bin Nashruwan, Abu Ishaq As Siba’i, Abul Fadl, dan Abu Sulaiman Rabi’ al-Qotthan. (ad-Daulah al-Fathimiyah karya Ali Muhammad ash-Shalabi).

Setelah kita memahami hakikat peringatan maulid yang sejatinya digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan aqidah kekafiran bani Ubaidiyah. Itu artinya, peringatan maulid yang dianggap sebagai syiar, sejatinya syiar aliran syiah dan bukan syiar Islam.

Sebagai kaum muslimin yang membenci Syi’ah, apalagi yang beralran ekstrim seperti bathiniyah, tidak selayaknya melestarikan syi’ar yang merupakan bagian dari ajaran pokok mereka.
Apakah peringatan maulid bukti cinta kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam?

Anda tentu meyakini, orang yang paling mencintai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah keluarga beliau dan para sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Sementara di awal kita telah sepakat, peringatan ini belum pernah ada di zaman sahabat maupun tabi’in, bahkan tabi’ tabi’in. Abu Bakr ash-Shiddiq tidak pernah merayakan maulid, Umar juga tidak pernah, Utsman juga tidak merayakan maulid, demikian pula Ali bin Abi Thalib. Hasan dan Husain, cucu kesayangan beliau juga tidak pernah merayakan maulid. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, dan para ulama pelopor Islam lainnya, tidak tercatat dalam sejarah bahwa mereka merayakan peringatan maulid. Akankah kita katakan mereka tidak mencintai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.


Peringatan Maulid Menurut 4 Madzhab


Pertanyaan:
Bagaimana pendapat ulama imam 4 madzhab tentang peringatan maulid? seperti Imam as-Syafii…

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Kita semua mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita semua memuliakan beliau. Kami, anda, mereka, semua muslim sangat mencintai dan memuliakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Yang menjadi pertanyaan, apakah perayaan maulid merupakan cara benar untuk mengungkapkan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Kita tidak tahu pasti kapan pertama kali maulid ini diadakan. Namun jika kita mengacu pada keterangan al-Maqrizy dalam kitabnya al-Khathat (1/490), maulid ini ada ketika zaman Daulah Fatimiyah, daulah syiah yang berkuasa di Mesir. Mereka membuat banyak Maulid, mulai dari Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Fatimah, hingga maulid Hasan dan Husain. Dan Bani Fatimiyah berkuasa sekitar abad 4 H.

Al-Maqrizy adalah ulama ahli sejarah dari Mesir. Wafat tahun 845 H.

Inilah yang menjadi alasan, kenapa para ulama ahlus sunah yang menjumpai perayaan maulid, menginkari keberadaan perayaan ini. Karena pada hakekatnya, mereka yang merayakan peringatan maulid, melestarikan kebudayaan daulah Fatimiyah yang beraqidah syiah bathiniyah.

Kita akan simak penuturan mereka,

[1] Keterangan Tajuddin al-Fakihani (ulama Malikiyah w. 734 H),

لا أعلم لهذا المولد أصلاً في كتاب ولا سنة، ولا ينقل عمله عن أحد من علماء الأمة، الذين هم القدوة في الدين، المتمسكون بآثار المتقدمين، بل هو بِدعة أحدثها البطالون

Saya tidak mengetahui adanya satupun dalil dari al-Quran dan sunah tentang maulid. Dan tidak ada nukilan dari seorangpun ulama umat ini, yang mereka adalah panutan dalam agama, berpegang dengan prinsip pendahulunya. Bahkan peringatan ini adalah perbuatan bid’ah yang dibuat ahli bathil. (Risalah al-Maurid fi Hukmi al-Maulid, hlm. 1).

[2] Keterangan as-Syathibi (w. 790 H)

فمعلوم أن إقامة المولد على الوصف المعهود بين الناس بدعة محدثة وكل بدعة ضلالة

Semua paham bahwa mengadakan maulid seperti yang ada di masyarakat di masa ini adalah bid’ah, sesuatu yang baru dalam agama. Dan semua bid’ah adalah sesat. (Fatawa as-Syatiby, hlm. 203).

[3] Keterangan as-Sakhawi (ulama Syafiiyah dari Mesir, muridnya Ibnu Hajar al-Asqalani),

أصل عمل المولد الشريف لم ينقل عن أحد من السلف الصالح في القرون الثلاثة الفاضلة

Asal perayaan maulid as-Syarif (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak dinukil dari seorangpun dari ulama salaf yang hidup di tiga generasi terbaik. (al-Maurid ar-Rawi fi al-Maulid an-Nabawi, hlm. 12)

[4] Pujian as-Suyuthi terhadap keterangan Abu Amr bin al-Alla’ (w. 154 H)

ولقد أحسن الإمام أبو عمرو بن العلاء حيث يقول: لا يزال الناس بخير ما تعجب من العجب – هذا مع أن الشهر الذي ولد فيه رسول الله وهو ربيع الأول هو بعينه الشهر الذي توفي فيه، فليس الفرح بأولى من الحزن فيه

Sungguh benar yang dinyatakan Imam Abu Amr bin al-Alla’, beliau mengatakan, “Masyarakat akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka masih merasa terheran. Mengingat bulan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rabiul Awal, yang ini juga merupakan bulan wafatnya beliau. Sementara bergembira di bulan ini karena kelahirannya, tidak lebih istimewa dari pada bersedih karena wafatnya beliau. (al-Hawi Lil Fatawa, 1/190).

Kebahagiaan mereka di tanggal 12 Rabiul awal dengan anggapan sebagai hari maulid, bertepatan dengan hari wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu mana yang lebih dekat, peringatan kelahiran ataukah peringatan kematian.

[5] Keterangan Imam Ibnul Hajj (w. 737 H) menukil pernyataan al-Allamah al-Anshari

فإن خلا – أي عمل المولد- منه – أي من السماع – وعمل طعاماً فقط، ونوى به المولد ودعا إليه الاخوان، وسلم من كل ما تقدم ذكره – أي من المفاسد- فهو بدعة بنفس نيته فقط، إذ إن ذلك زيادة

Jika kegiatan maulid itu bersih dari semua suara-suara musik, hanya berisi kegiatan makan-makan, dengan niat maulid, mengundang rekan-rekan, dan bersih dari semua aktivitas terlarang yang tadi disebutkan, maka status perbuatan ini adalah bid’ah hanya sebatas niatnya. Karena semacam ini termasuk tambahan. (al- Madkhal, 2/312)

[6] Pengakuan tokoh sufi, Yusuf ar-Rifa’i,

Bahkan seorang tokoh sufi Yusuf Hasyim ar-Rifa’i menyatakan dalam kitabnya bahwa perayaan maulid, termasuk yang bentuknya berkumpul untuk mendengarkan pembacaan sirah nabawi, baru ada jauh setelah para imam madzhab meninggal dunia. Yusuf ar-Rifa’i mengatakan,

إن اجتماع الناس على سماع قصة المولد النبوي الشريف، أمر استحدث بعد عصر النبوة، بل ما ظهر إلا في أوائل القرن السادس الهجري

Orang berkumpul untuk mendengarkan pembacaan kisah maulid as-Syarif, adalah amalan baru setelah zaman kenabian. Bahkan kegiatan ini belum semarak kecuali di awal abad ke-6 hijriyah. (ar-Rad al-Muhkim al-Mani’, hlm. 153).

[7] Keterangan Muhammad Rasyid Ridha,

هذه الموالد بدعة بلا نزاع، وأول من ابتدع الاجتماع لقراءة قصة المولد أحد ملوك الشراكسة بمصر

Peringatan maulid ini statusnya bid’ah tanpa ada perbedaan diantara ulama. Sementara orang pertama yang membuat bid’ah kumpul-kumpul untuk menceritakan kisah Maulid adalah salah satu raja Circassians di Mesir. (al-Manar, 17/111)

Maulid Menurut Ulama 4 Madzhab



Lalu bagaimana pandangan para ulama imam madzhab, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam as-Syafi’i, dan Imam Ahmad terkait peringatan maulid?

Jawabannya:

Bagaimana mungkin kita bisa mendapatkan keterangan dari mereka tentang maulid, sementara peringatan maulid belum pernah ada di zaman mereka..

Allahu a’lam.


Seorang penyair mengatakan:
لو كنت صادقا في حبه لأطعته *** إن المــحب لمن يحـب مطيـع
Jika cintamu jujur tentu engkau akan mentaatinya…
karena orang yang mencintai akan taat kepada orang yang dia cintai…
Cinta yang sejati bukanlah dengan merayakan hari kelahiran seseorang… namun cinta yang sejati adalah dibuktikan dengan ketaatan kepada orang yang dicintai. Dan bagian dari ketaatan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah dengan tidak melakukan perbuatan yang tidak beliau ajarkan.

Wallahu Waliyyut Taufiq

Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Read More

Kamis, 23 November 2017

Siapa Sebenarnya Imam Al-Bukhari?


Muhammad bin Hatim Warraq Al-Bukhari rahimahullah menceritakan, “Aku bermimpi melihat Bukhari berjalan di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap kali Nabi mengangkat telapak kakinya maka Abu Abdillah (Bukhari) pun meletakkan telapak kakinya di situ.” (Hadyu Sari, hal. 656)

Di antara hal yang sangat bermanfaat dan bisa memberikan inspirasi bagi jiwa seorang muslim adalah membaca sejarah kehidupan para ulama. Menyelami alur cerita mereka memiliki kesan tersendiri bagi jiwa. Menikmati setiap detik kehidupan mereka yang penuh dengan ilmu dan amal begitu asyik dan indah terasa. Maka itu, luangkanlah waktu untuk hidup bersama mereka walau sesaat, insya Allah akan sangat bermanfaat.


Nama dan Nasabnya


Beliau bernama Muhammad, putra dari Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi, biasa dipanggil dengan sebutan Abu ‘Abdillah. Beliau dilahirkan pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at 13 Syawwal 194 H di Bukhara (Bukarest). Ketika masih kecil, ayahnya yaitu Isma’il sudah meninggal sehingga dia pun diasuh oleh sang ibu. Ghinjar dan Al-Lalika’i menceritakan bahwa ketika kecil kedua mata Bukhari buta. Suatu ketika ibunya bermimpi melihat Nabi Ibrahim berkata kepadanya, “Wahai ibu, sesungguhnya Allah telah memulihkan penglihatan putramu karena banyaknya doa yang kamu panjatkan kepada-Nya.” Pagi harinya dia dapati penglihatan anaknya telah sembuh (lihat Hadyu Sari, hal. 640)


Kelahiran


Beliau dilahirkan di Bukhara, sebuah kota masyhur yang terletak di sebelah tengah Uzbekistan, pada bulan Syawal tahun 194 H. Beliau tumbuh dengan keadaan yatim dalam didikan ibunya. Kepada kota Bukhara inilah penisbatan nama Imam al-Bukhari.


Menuntut Ilmu

Beliau memulai rihlah (perjalanan) untuk menuntut ilmu hadis pada tahun 210 H ketika pergi berhaji bersama Ibu dan saudaranya. Beliau menetap di Makkah untuk menyelami ilmu hadis, setelah itu baru beliau berkeliling ke negara-negara yang lain.

Imam al-Bukhari rahimahullah sering berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain. Beliau pernah bermukim di Hijaz selama dua tahun. Demikian pula beliau pernah bepergian ke Syam, Mesir, Jazirah Arab, al-Bashrah, al-Kufah dan Baghdad serta ke Khurasan.

Kekuatan Hafalan Imam Bukhari dan Kecerdasannya


Muhammad bin Abi Hatim Warraq Al Bukhari menceritakan: Aku mendengar Bukhari mengatakan, “Aku mendapatkan ilham untuk menghafal hadits ketika aku masih berada di sekolah baca tulis (kuttab).” Aku berkata kepadanya, “Berapakah umurmu ketika itu?” Dia menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang dari itu. Kemudian setelah lulus dari Kuttab, aku pun bolak-balik menghadiri majelis haditsnya Ad-Dakhili dan ulama hadits lainnya. Suatu hari tatkala membacakan hadits di hadapan orang-orang dia (Ad-Dakhili) mengatakan, ‘Sufyan meriwayatkan dari Abu Zubair dari Ibrahim.’ Maka aku katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan dari Ibrahim.’ Maka dia pun menghardikku, lalu aku berkata kepadanya, ‘Rujuklah kepada sumber aslinya, jika kamu punya.’ Kemudian dia pun masuk dan melihat kitabnya lantas kembali dan berkata, ‘Bagaimana kamu bisa tahu wahai anak muda?’ Aku menjawab, ‘Dia adalah Az Zubair (bukan Abu Zubair, pen). Nama aslinya Ibnu Adi yang meriwayatkan hadits dari Ibrahim.’ Kemudian dia pun mengambil pena dan membenarkan catatannya. Dan dia pun berkata kepadaku, ‘Kamu benar’. Menanggapi cerita tersebut, Bukhari ini Warraq berkata, “Biasa, itulah sifat manusia. Ketika membantahnya umurmu berapa?” Bukhari menjawab, “Sebelas tahun.” (Hadyu Sari, hal. 640)

Hasyid bin Isma’il menceritakan: Dahulu Bukhari biasa ikut bersama kami bolak-balik menghadiri pelajaran para masayikh (para ulama) di Bashrah, pada saat itu dia masih kecil. Dia tidak pernah mencatat, sampai-sampai berlalu beberapa hari lamanya. Setelah 6 hari berlalu kami pun mencela kelakuannya. Menanggapi hal itu dia mengatakan, “Kalian merasa memiliki lebih banyak hadits daripada aku. Cobalah kalian tunjukkan kepadaku hadits-hadits yang telah kalian tulis.” Maka kami pun mengeluarkan catatan-catatan hadits tersebut. Lalu ternyata dia menambahkan hadits yang lain lagi sebanyak lima belas ribu hadits. Dia membacakan hadits-hadits itu semua dengan ingatan (di luar kepala), sampai-sampai kami pun akhirnya harus membetulkan catatan-catatan kami yang salah dengan berpedoman kepada hafalannya (Hadyu Sari, hal. 641)

Muhammad bin Al Azhar As Sijistani rahimahullah menceritakan: Dahulu aku ikut hadir dalam majelis Sulaiman bin Harb sedangkan Bukhari juga ikut bersama kami. Dia hanya mendengarkan dan tidak mencatat. Ada orang yang bertanya kepada sebagian orang yang hadir ketika itu, “Mengapa dia tidak mencatat?” Maka orang itu pun menjawab, “Dia akan kembali ke Bukhara dan menulisnya berdasarkan hafalannya.” (Hadyu Sari, hal. 641)

Suatu ketika Bukhari rahimahullah datang ke Baghdad. Para ulama hadits yang ada di sana mendengar kedatangannya dan ingin menguji kekuatan hafalannya. Mereka pun mempersiapkan seratus buah hadits yang telah dibolak-balikkan isi hadits dan sanadnya, matan yang satu ditukar dengan matan yang lain, sanad yang satu ditukar dengan sanad yang lain. Kemudian seratus hadits ini dibagi kepada 10 orang yang masing-masing bertugas menanyakan 10 hadits yang berbeda kepada Bukhari. Setiap kali salah seorang di antara mereka menanyakan kepadanya tentang hadits yang mereka bawakan, maka Bukhari menjawab dengan jawaban yang sama, “Aku tidak mengetahuinya.” Setelah sepuluh orang ini selesai, maka gantian Bukhari yang berkata kepada 10 orang tersebut satu persatu, “Adapun hadits yang kamu bawakan bunyinya demikian. Namun hadits yang benar adalah demikian.” Hal itu beliau lakukan kepada sepuluh orang tersebut. Semua sanad dan matan hadits beliau kembalikan kepada tempatnya masing-masing dan beliau mampu mengulangi hadits yang telah dibolak-balikkan itu hanya dengan sekali dengar. Sehingga para ulama pun mengakui kehebatan hafalan Bukhari dan tingginya kedudukan beliau (lihat Hadyu Sari, hal. 652)

Muhammad bin Hamdawaih rahimahullah menceritakan: Aku pernah mendengar Bukhari mengatakan, “Aku hafal seratus ribu hadits sahih.” (Hadyu Sari, hal. 654). Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku menyusun kitab Al-Jami’ (Shahih Bukhari, pent) ini dari enam ratus ribu hadits yang telah aku dapatkan dalam waktu enam belas tahun dan aku akan menjadikannya sebagai hujjah antara diriku dengan Allah.” (Hadyu Sari, hal. 656)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menuturkan bahwa apabila Bukhari membaca Al-Qur’an maka hati, pandangan, dan pendengarannya sibuk menikmati bacaannya, dia memikirkan perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di dalamnya, dan mengetahui hukum halal dan haramnya (lihat Hadyu Sari, hal. 650)

Karya-Karya


Imam al-Bukhari memiliki banyak karya tulisan, di antaranya adalah Shahih al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, Khalq Af’al al-‘Ibad, Juz’ Raf’ al-Yadain fi ad-Du’a, Juz’ al-Qiraah kalfa al-Imam, Tarikh al-Bukhari, dan beberapa kitab lainnya.

Wafat


Imam al-Bukhari rahimahullah wafat di daerah Khartank, sebuah negeri yang terletak dekat dari Samarkand pada malam Idul Fitri tahun 256 H pada usia 62 tahun kurang tiga belas hari.

Muhammad al-Jurjani rahimahullah berkata: Aku mendengar Abdulwahid bin Adam at-Tawawisi berkata: aku bermimpi melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sekumpulan sahabat beliau. Nabi berdiri di sebuah tempat, lalu aku mengucapkan salam dan beliau pun menjawab salamku. Aku bertanya: mengapa engkau berdiri, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Aku menunggu Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Beberapa hari setelah itu sampai kepadaku kabar tentang kematian al-Bukhari, setelah aku perhatikan ternyata beliau meninggal pada waktu aku bermimpi bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau telah meninggalkan ilmu yang melimpah pada karya-karyanya. Semoga Allah merahmati beliau dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.

Sanjungan Para Ulama Kepadanya


Abu Mush’ab rahimahullah (di dalam cetakan tertulis Abu Mu’shab, sepertinya ini salah tulis karena dalam kalimat sesudahya ditulis Abu Mush’ab, pent) Ahmad bin Abi Bakr Az Zuhri mengatakan, “Muhammad bin Isma’il (Bukhari) lebih fakih dan lebih mengerti hadits dalam pandangan kami daripada Imam Ahmad bin Hambal.” Salah seorang teman duduknya berkata kepadanya, “Kamu terlalu berlebihan.” Kemudian Abu Mush’ab justru mengatakan, “Seandainya aku bertemu dengan Malik (lebih senior daripada Imam Ahmad, pent) dan aku pandang wajahnya dengan wajah Muhammad bin Isma’il niscaya aku akan mengatakan: Kedua orang ini sama dalam hal hadits dan fiqih.” (Hadyu Sari, hal. 646)

Qutaibah bin Sa’id rahimahullah mengatakan, “Aku telah duduk bersama para ahli fikih, ahli zuhud, dan ahli ibadah. Aku belum pernah melihat semenjak aku bisa berpikir ada seorang manusia yang seperti Muhammad bin Isma’il. Dia di masanya seperti halnya Umar di kalangan para sahabat.” (Hadyu Sari, hal. 646)

Muhammad bin Yusuf Al Hamdani rahimahullah menceritakan: Suatu saat Qutaibah ditanya tentang kasus “perceraian dalam keadaan mabuk”, lalu masuklah Muhammad bin Isma’il ke ruangan tersebut. Seketika itu pula Qutaibah mengatakan kepada si penanya, “Inilah Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan Ali bin Madini yang telah dihadirkan oleh Allah untuk menjawab pertanyaanmu.” Seraya mengisyaratkan kepada Bukhari (Hadyu Sari, hal. 646)

Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan, “Negeri Khurasan belum pernah melahirkan orang yang seperti Muhammad bin Isma’il.” (Hadyu Sari, hal. 647)

Bundar Muhammad bin Basyar rahimahullah mengatakan tentang Bukhari, “Dia adalah makhluk Allah yang paling fakih di zaman kami.” (Hadyu Sari, hal. 647)

Hasyid bin Isma’il rahimahullah menceritakan: Ketika aku berada di Bashrah aku mendengar kedatangan Muhammad bin Isma’il. Ketika dia datang, Muhammad bin Basyar pun mengatakan, “Hari ini telah datang seorang pemimpin para fuqoha’.” (Hadyu Sari, hal. 647)

Muslim bin Hajjaj rahimahullah -penulis Shahih Muslim, murid Imam Bukhari – mengatakan, “Aku bersaksi bahwa di dunia ini tidak ada orang yang seperti dirimu (yaitu seperti Bukhari).” (Hadyu Sari, hal. 650)

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas jasa-jasa beliau dengan sebaik-baik balasan dan memasukkannya ke dalam Surga Firdaus yang tinggi. Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang dapat melanjutkan perjuangannya dalam membela Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebarkannya kepada umat manusia. 

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

***
[Referensi: Hadyus-Sari muqaddimah Fathul-Bari, Ibnu Hajar al-‘Asqalani Syaikh, Cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, hal. 6-8. Al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits, Ahmad Syakir, hal. 36, Jam’iyyah Ihya’ at-Turots, Kuwait. Nuzhah al-Fuhdola’ Tahdzib Siyar A’lam an-Nubala’, Muhammad Hasan ‘Aqil Musa, hal. 923-924, Dar al-Andalus, Jedah. Mushthalah al-Hadits, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 90-92, Cet. Jami’ah al-Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyyah]


Read More